Tuesday, January 31, 2012

[Kelas Selasa] Bedah Kata


Kali ini, serial bedah kata saya tulis di dokumen ya. Jadi bisa dibuka-buka lagi nanti

Teman-teman, sebagai seorang penulis -wanna be- kita harus berakrab ria dengan kata-kata.
Mengapa? Sebab, kata itu ibarat amunisi seorang penulis. Kata-kata lah yang akan mewakili seorang penulis untuk menyampaikan gagasannya lewat tulisan
Masalahnya, terkadang kita tidak tahu atau tidak bisa memastikan. Manakah kata yang baku, mana kata yang tidak baku.
Untuk keperluan itulah, seorang penulis sangat membutuhkan bantuan kamus.
Teman-teman bisa membuka kamus online di sini: http://kateglo.bahtera.org/

Monday, January 30, 2012

Info Mizan Publishing House

Kriteria Pengajuan Naskah Non Fiksi
Per 1 Januari 2012

Kriteria naskah:
Isi naskah dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Naskah ditulis secara logis dan sistematis dan karya asli. Belum pernah dipublikasikan penerbit lain. Memiliki rujukan yang jelas. Memiliki orisinalitas atau kebaruan. Memiliki peluang pasar (marketabilitas) yang bagus. Tulisan utuh/padu (monograf), bukan kumpulan tulisan. Bukan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi).

Sunday, January 29, 2012

Delapan Tips Bagaimana Menulis Fiksi

Oleh: AYU UTAMI
(Penulis novel Saman, Larung, Bilangan Fu)

1. Bagaimana menuangkan ide?


Ide adalah ibarat keping-keping lego atau puzel. Kumpulkanlah yang kira-kira bisa saling dipasangkan. Setelah ada beberapa keping, coba susun. Setelah mulai tersusun, biasanya kita bisa menyadari bagian mana yang belum lengkap. Lengkapilah agar menjadi utuh. Prosa yang utuh biasanya memiliki tiga bagian: pembuka, isi, dan penutup.

Friday, January 27, 2012

Alamat Media di Indonesia

Majalah Gadis
-Tulisan untuk rubrik Obrolan, Kuis, Cinta dengan panjang 3-4 halaman folio spasi   ganda
-Tulisan untuk rubrik Percikan (cerpen mini) dengan panjang 2 halaman folio spasi ganda
-Tulisan untuk rubrik cerpen dengan panjang 6-7 halaman folio spasi ganda
-Kirim ke alamat Redaksi Majalah Gadis: Jl HR Rasuna Said Blok B Kav 32-33 Jakarta 12910
-Tulis identitas lengkap dan nomor rekening
-Cantumkan nama rubrik di kiri atas amplop

Thursday, January 26, 2012

Mengapa Aku Menulis?


Dengan menulis saya merekam jejak-jejak pemahaman saya; mengikat ilmu, lalu melihatnya kembali untuk—sesekali—menertawakannya. Dan saat saya telah bisa menertawakan kebodohan saya beberapa waktu lalu yang tercermin dari tulisan saya ketika itu, saya jadi tahu, alhamdulillah saya telah mengalami sedikit kemajuan.

[Salim A.Fillah]

Dengan menulis, seseorang bisa berbicara dan menyampaikan proses pada puluhan ribu orang, bahkan ratusan ribu. Bisa menjangkau tempat-tempat yang jauh dan tidak terbayangkan. Bagi perempuan, profesi menulis membuat bisa tetap dekat dengan keluarga. Menulis juga bisa menjadi amal jariyah.

[Asma Nadia]


Dengan menulis, saya ingin dikenal. Saya yakin, setiap manusia punya kelebihan masing-masing.

[Hilman “Lupus” Hariwijaya]



Menulis adalah sebuah kebutuhan bagi saya. Ekspresi emosi dan merefresh pikiran. Karena kebutuhan, mau tak mau dalam kondisi apapun saya harus tetap menulis. Menulis juga cara saya untuk mengikat ilmu dan belajar

[Afifah Afra]



Sebelum memulai menulis, sebuah hal yang NISCAYA kita lakukan untuk benar-benar meluruskan MOTIVASI kita, membenahi NIAT kita. Karena inilah yang akan menjadi bahan bakar kita ketika melalui proses menjadi penulis

Mengapa?

1. Sebab menulis adalah BERJUANG [Putu Wijaya]

Berjuang mengalahkan kemalasannya sendiri, mengatasi kelemahannya, berjuang mendisiplinkan diri, berjuang mencari data dan bahan referensi, dan seterusnya. Termasuk BERJUANG mengatasi berbagai EMOSI dan PERASAAN yang mungkin muncul saat menjalani proses sebagai penulis.

Menekan rasa bangga diri ketika mulai muncul, menghalau perasaan kecewa ketika mencuat, mengatasi perasaan iri ketika ia meracuni. Ingat! Motivasi awal kita menulis akan memengaruhi kebersihan dan kekuatan perjuangan kita.



2. Sebab menulis adalah PERPADUAN KEKUATAN AKAL, KEKUATAN FISIK, KEKUATAN TEKAD

Akal harus kuat, sebab menulis adalah menuangkan isi pikiran kita. Tak akan bisa memberi siapa yang tidak mempunyai. Karena itu, seorang penulis harus mempunyai sesuatu dulu. Apa yang harus dipunyai seorang penulis? Ilmu, data, fakta, kekayaan imajinasi, ratusan solusi.

Fisik harus kuat. Bisa dibayangkan berapa jam seorang penulis harus duduk di depan komputer? Jika tak pandai memanajemen diri, maka hasilnya tubuh akan tumbang.

Tekad harus kuat. Kuat saat akan memulai, kuat saat proses menulis, kuat juga saat menunggu tulisan lahir dan dinikmati pembaca. Kuat dengan pujian, pun kuat dengan kritikan



3. Sebab menulis adalah menanam POHON AMAL

Menulis adalah upaya kita untuk menanam amal jariyah. Maka, motivasi menulis harus benar-benar lurus sejak awal, proses hingga ke ujungnya



Mengapa aku menulis?

"Aku menulis karena cinta. Penerimaan dan pujian mungkin akan menguatkan. Tapi penolakan dan kritikan takkan melemahkan." [Nurul Asmayani]



Nah, mengapa Anda menulis?


Kami Memburu Naskah Potensial yang Bisa Dijual

Oleh: Anwar Holid

Kalau  diberi kesempatan, naskah seperti apa yang akan kamu  terbitkan?  Jawabannya: aku mau menerbitkan semua buku yang aku  inginkan.

Mimpi!  Kenyataan tak semudah itu. Penerbit merupakan lembaga bisnis  yang  bertaruh dengan uang. Ia berhitung untung-rugi. Setiap penerbit  punya  selera dan ketentuan sendiri. Jujur, penerbit manapun lebih suka   menerbitkan naskah yang sudah dijamin biaya produksinya- --misal oleh   penulis sendiri, pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan-   --daripada harus menerbitkan naskah yang pasarnya belum jelas, butuh   energi, dan biaya besar untuk balik modal. Kecenderungan ini terbukti   dari banyaknya naskah pesanan, padahal editor sudah kerap memberi tahu   bahwa naskahnya tidak layak dan teknik penulisannya payah. Tapi karena   penerbit pasti mendapat untung tanpa perlu susah-susah menjualnya,   naskah itu tetap harus terbit, bahkan kerap dirayakan dengan gegap   gempita.

Buku yang terbit kadang-kadang tak ada hubungannya  dengan naskah  baik atau buruk. Sering penerbit hanya butuh naskah laku,  yang langsung  bisa meyakinkan bakal mendatangkan uang, menghasilkan  bonus, terjual  ratusan ribu kopi, dan memasarkannya dengan semangat. Mau  naskah  sebagus apa pun, semulia apa pun, kalau dinilai tak mendatangkan  untung  tak bakal diterbitkan. Kalau terpaksa diterbitkan, entah oleh  penerbit  profesional atau self-publishing, hasilnya sama saja: buku itu   menumpuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya akan dikilo ke tempat loak.   Naskah bagus bisa berbeda dengan naskah laku, dan itu merupakan misteri   bagi semua pemain industri perbukuan, meski penerbit terus berusaha   menaklukannya.

Banyak buku yang dilecehkan sebagian pembaca  ternyata laris di  pasar, jadi bestseller, dicetak puluhan kali,  mendatangkan untung  miliaran rupiah bagi penerbit dan penulis. Penerbit  kerap lebih  tertarik dengan naskah yang punya potensi jadi bestseller  daripada  naskah yang dianggap baik. Untuk mendapat naskah bestseller  penerbit  bahkan berani menyewa penulis dan membayar kontan. Orang boleh  saja  menghina-hina sebuah buku rendah mutunya, kosong isinya, ditulis  biasa  saja, bahkan mungkin merupakan pseudosains utak-gatik-gatuk, tapi  kalau  buku itu laku, silakan gigit jari orang yang menghina-hina itu.  Setiap  buku laris pasti bakal ada susulannya; penerbit lain sangat ingin   mendapat naskah sejenis itu. Penerbit selalu mencari momen bestseller,   bagaimanapun caranya.

Kalau begitu, naskah seperti apa yang bisa  terbit? Jawabannya jelas  naskah yang bakal laku bila jadi buku. Jawaban  ini bisa sangat beragam  bentuknya, sebab penerbit punya pernyataan  bisnis masing-masing-  --bahkan bisa tak malu-malu mengkhianati  pernyataan itu. Contoh: ada  penerbit yang berafiliasi dengan Islam malah  menerbitkan buku tentang  seorang Yahudi yang dianggap menghancurkan  dunia Islam. Kenapa penerbit  ini mau menerbitkannya? Karena dia ingin  memetik keuntungan dari buku  itu.

Naskah yang bisa menarik perhatian penerbit biasanya punya ciri sebagai berikut:

1. Ditulis dengan rapi.

Ini  syarat mutlak. Selera editor biasanya langsung rusak bila  melihat  naskah yang terlalu banyak salah eja. Bila seleranya rusak, dia  akan  lebih kesulitan lagi menemukan permata dalam naskah itu. Wah,  bukankah  memperbaiki dan memoles kesalahan naskah itu tugas editor?  Benar. Tapi  penulis harus menolong diri sendiri dulu. Penulis dilarang  membebankan  persoalan elementer ini pada editor. Di sinilah pentingnya  penulis harus  berusaha mengetik secara disiplin dan akurat, kalau bisa  tanpa  kesalahan satu pun.

2. Subjek (isi) tulisan itu jelas.

Penulis  mestinya mengusung ide tertentu yang fokus. Ia mau bicara  apa?  Bagaimana cara dia menyampaikan pemikiran? Kalau bertele-tele,  banyak  menyertakan hal irelevan, malah membuat kabur persoalan, editor  bisa  langsung menolak naskah itu atau mencorat-coretnya. Kalau cara   penyampaiannya kurang greget, sementara ide ceritanya biasa, naskah itu   akan mudah diabaikan. Sebaliknya, meski ide ceritanya biasa, namun   disampaikan secara unik, atraktif, dengan sudut pandang menarik,   kemungkinan besar naskah itu masih tetap bisa memikat. Isi naskah   merupakan perhatian utama editor, sebab pada dasarnya itulah yang akan   ia kemas menjadi buku yang bisa dijual, bisa ditawarkan kepada calon   pembaca.

Jonathan Karp, seorang editor berpengalaman di Amerika  Serikat,  menyatakan: "Kami akan mati-matian berusaha menerbitkan buku  yang luar  biasa, karya penulis yang memiliki perspektif unik,  otoritasnya diakui,  dan mampu menarik perhatian orang. Karya yang bisa  menjelaskan  mengenai budaya kita. Ia mesti bisa menerangi,  menginspirasi, memancing  emosi pembaca, sekaligus menghibur. Pendapat,  otoritas, maupun subjek  buku itu harus tunggal, istimewa, luar biasa."

Noor  H. Dee, editor di LPPH, berpendapat bahwa sebuah naskah pantas   diterbitkan bila memiliki nilai kebaruan dan keunikan. Pembaca juga   harus bisa mendapatkan manfaat dari naskah tersebut. "Saya lebih memilih   naskah yang sedang hip (digemari) di pasaran, sebab trend pasar juga   jadi pertimbangan saya," demikian ujarnya.

3. Punya nilai lebih atau keunggulan yang bisa ditonjolkan.

Ini berguna bila subjek bahasan penulis serupa dengan penulis lain,   atau topik itu sudah dibahas banyak buku lain. Apa yang ditawarkan   naskah ini, misalnya apa rahasia yang belum terungkap penulis lain,   temuan baru, efektivitas, bahkan hal-hal sepele yang mungkin bisa   diunggulkan sebagai nilai jual.

Contoh kasus: Isi Outliers  (Malcolm Gladwell) kalau dilihat-lihat  sangat klise, berisi pandangan  manusia tentang kesuksesan. Buku  motivasional atau how-to sudah  membicarakannya dari banyak sisi. Tapi  kenapa Outliers tetap bisa  menonjol secara luar biasa dan jadi  bestseller gila-gilaan? Bisa jadi  karena dua hal: (1) teknik  penulisannya hebat dan lincah sekali. (2)  cara berpikir Gladwell unik  dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan.

Carol  Meyer dalam The Writer's Survival Manual menyebut ada tujuh  faktor yang  sering jadi pertimbangan editor dalam meloloskan naskah,  yaitu:

1.  Apa naskah ini cocok dengan buku-buku terbitan sebelumnya? Apa  penerbit  pernah sukses dengan buku seperti ini? Kalau tidak, apa ada  celah baru  yang masuk akal untuk menerbitkan naskah ini? Bagaimana  menjualnya?

2. Apa subjek buku itu akan bisa dia edit dengan nyaman? Kalau harus outsource, apa biayanya terjangkau?

3. Apa editor punya waktu untuk mengeditnya?

4. Apa naskah itu ditulis dengan baik?

5. Bagaimana kompetisi naskah sejenis di pasar?

6. Apa subjek naskah itu sedang populer, membuka subjek baru, atau punya kemungkinan melahirkan trend baru?

7. Apa penerbit sanggup membiayai ongkos produksinya?

****

Tak  ada yang suci di dunia penerbitan. Sebuah naskah bisa terbit  karena  belasan alasan dan kondisinya macam-macam. Apalagi naskah apa  pun bisa  dipoles dan direvisi. Bahkan kerap terjadi naskah yang  sebenarnya belum  layak pun bisa dipaksa terbit bila ada pihak yang  menginginkan atau mau  membiayainya. Ingatlah buku-buku buruk yang  pernah kita baca. Standarnya  ialah asal naskah itu memenuhi syarat  tertentu, masuk kategori cukup  (tidak memalukan bila diterbitkan) ,  bisa diupayakan, ada sesuatu yang  ingin dikejar, maka naskah itu  niscaya bakal terbit.

Sederhananya,  bila editor menilai bahwa naskah yang dibacanya sudah  cukup bagus,  cukup yakin bahwa naskah itu punya nilai jual, ia akan  meloloskan dan  mengusulkan untuk diterbitkan. Kalau naskah disiapkan  dengan baik, itu  sudah cukup untuk menjadi bahan buku yang memadai.  Perkara bestseller,  siapa yang tahu. Banyak buku bestseller kualitas  isinya biasa saja. Ada  buku yang isinya bermutu tapi tak laku. Secara  umum, Dari dulu buku  bestseller itu tipikalnya sama: penulisannya  populer, isinya mudah  dipahami, cukup "ringan" waktu dibaca, menggugah  (inspirasional) ,  memberi wawasan yang segar, simpel, berorientasi  pasar, bisa memenuhi  selera umum seluas mungkin.

Kalau Anda mau menulis buku yang  berpeluang jadi bestseller,  menulislah secara populer dan informal.  Pelajarilah cara menulis yang  efektif-efisien. Belajarlah dari buku  laris, bergurulah pada penulis,  instruktur menulis, atau penerbit yang  tergila-gila pada buku  bestseller.

Salah satu faktor bestseller  ialah karena buku itu ditulis oleh  seorang ahli di bidang tertentu dan  dia mampu menggunakan keahlian atau  wawasannya sebagai basis untuk  meyakinkan pembaca, bukan untuk pamer  pengetahuan atau justru  menonjol-nonjolkan betapa tinggi ilmunya.  Alasan ini mungkin masih  kabur. Konkretnya: carilah naskah karya  seorang ahli di bidang tertentu,  ditulis secara populer, banyak  memiliki insight, dan segar, mungkin ia  bakal mudah jadi buku  bestseller.

Fakta ada banyak naskah yang  awalnya ditolak puluhan editor, gagal  diterbitkan penerbit tertentu,  namun begitu diterima dan diterbitkan  pihak lain ternyata mendapat  pengakuan hebat di mana-mana, dikritik  habis-habisan, atau akhirnya jadi  bestseller mestinya membuka mata dan  menyemangati penulis bahwa naskah  yang baik itu pasti layak diterbitkan  dan punya nilai jual. Karena itu  teruslah menulis dan berkarya.

Keep your hand moving.

Wednesday, January 25, 2012

Ibu-Ibu Doyan Nulis



Berawal dari facebook, FACEBOOK bukan hanya urusan STATUS nggak penting, Facebook bisa jadi lahan pemberdayaan perempuan juga. Grup Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) salah satu grup yang serius melakukan hal ini. Grup yang berdiri di bulan Mei 2010 ini didirikan oleh seorang Ibu Rumah Tangga yang juga menekuni bisnis Agensi Naskah dengan nama Indscript Creative kini beranggotakan hampir 5000 orang ibu. Ibu Rumah Tangga itu bernama Indari Mastuti memang mantap melakukan pemberdayaan perempuan secara online dengan bidang pekerjaan MENULIS. Ya, menulis!