Monday, March 5, 2012

Kelas Bedah Fiksi (Jumat, 17 Februari 2011)


Assalamu'alaikum ibu-ibu dan mbak-mbak cantik nan shalihah. Apa kabar? Semoga semua dalam keadaan terbaik yaa...
Sebelum kelas kita mulai, kita baca Basmallah dulu untuk yang beragama Islam yaa... yang beragama lain, silakan berdoa menurut keyakinan masing-masing.
Nah, hari ini, kita masih akan membahas cerpen. Di bawah ini ada cerpen kiriman bu Sri Widiyastuti, tetangga saya dari Johor. Cerpen keren bernuansa Palestine. Selain bedah cerpen, kita juga akan mencoba mendalami ilmu tentang setting alias penglataran. Wah, apa itu?
Berikut ada sedikit materi tentang setting, silakan dibaca, :-)
Menurut Wikipedia, latar(setting) adalah tempat, waktu , suasana yang terdapat dalam cerita. Sebuah cerita harus jelas di mana berlangsungnya, kapan terjadi dan suasana serta keadaan ketika cerita berlangsung.
Setting merupakan unsur yang penting dalam sebuah cerpen. Setting yang kuat akan membawa para pembacanya larut dalam cerita. Pembaca akan mudah berimajinasi hingga merasa seolah-olah berada di dalam cerita tersebut.
Untuk mendapatkan sebuah setting yang oke, sebagai seorang penulis, kita harus mendeskripsikan atau menarasikan setiap detail dalam cerpen kita sehingga pembaca mudah berimajinasi.
Misalnya, tokoh kita adalah seorang istri pelajar yang baru menginjakkan kakinya ke kampus Universiti Teknologi Malaysia (ini mah saya lima tahun lalu, hihihi).
============
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Taksi yang kami tumpangi memasuki kawasan yang sangat bersih. Sebuah tulisan besar terpampang di atas gapura. Universiti Teknologi Malaysia, Skudai Johor Bahru. Ah, tanpa terasa haru menyeruak dalam dada. Akhirnya sampai juga aku di sini.
Kuedarkan pandanganku ke luar jendela. Pepohonan berbaris rapi di sepanjang jalanan kampus. Melihat besarnya batang, usia pohon-pohon itu pasti sudah mencapai puluhan tahun. Memang, dari informasi sang sopir taksi, kampus ini awalnya adalah sebuah hutan rimba. Meski demikian, rumput di bawahnya sangat rapi. Tak satu pun sampah kulihat di atasnya.
Lima menit berselang, tampak olehku sebuah danau buatan. Airnya tenang tanpa riak. Sesekali datang sekawanan burung bangau putih, menambah manis suasana. Aih, baru beberapa menit saja, aku sudah merasa kerasan tinggal di sini.
"Ayah, aku mau lama-lama tinggal di sini!" bisikku pada si Ayah.
================
Nahhh, itu contoh kecil tentang setting. Saya mencoba mengajak pembaca memasuki kampus UTM. Kira-kira, mudah diimajinasikan atau sulit ya? hehehe... kalau mudah Alhamdulillah, kalau sulit, maafkeun yaa...
Baiklah, sekarang, kita baca cerpen keren kiriman bu Tuti berikut yuk! Setelah itu, ditunggu komennya yaaa...

--------------------------------------------------------------------------
HAYYA
Oleh : Sri Widiyastuti
Belum seminggu aku tinggal di kota
kecil ini, Israel telah melancarkan agresinya hingga ke sini. Huh! Padahal,
Boss-ku bilang, Khan Yunis adalah kota kecil yang aman. Nyatanya? Tiga hari
yang lalu mereka melancarkan serangan tiba-tiba. Sayup-sayup dari jauh masih
terdengar dentuman dan rentetan senjata di mana-mana.

Merinding rasanya, jika
tiba-tiba bom itu mendarat di hotel tempatku menginap.
MasyaAllah, tiba-tiba aku dicekam perasaan takut mati. Aku menyesal mau
mengikuti ekspedisi ini. Tiba-tiba bayangan keluargaku menari-nari dalam
benakku.

Ya Allah, apakah ini yang
dinamakan al wahn itu? Dia begitu menggodaku saat ini.Ya Allah, luruskan
niatku, luruskan niatku….
“Hei! ngetik jurnal atau bengong, Nduk?”
Mbak Adis, teman sekamarku, tiba-tiba sudah ada disebelahku.
 “Astaghfirullah al adzim….! Mbak Adis… ya Allah Mbak, bisa jantungan
aku.” kutinggalkan laptopku sambil siap mencubit pinggangnya.
 “Eit, engga kena…hehhehe…” katanya
sambil berlari
menuju tempat tidur. “Eh, engga laper apa kamu? Dari tadi nulis aja engga
beres-beres. Aku dah laper nih. Turun yuk!” Mbak Adis berbicara nyerocos seperti mercon mengajakku
makan.
  
Kami memang tidak makan di hotel,
selain untuk mengirit pengeluaran, kami lebih suka mencari kuliner di sekitar
hotel. Agar
lebih dekat dengan warga Palestina. Itulah target wartawan.

Kupegangi perutku, benar, perutku
juga sudah lapar. Tiba-tiba perut itu berbunyi minta diisi.

“Oke Mbak, aku siap-siap dulu yah….”
Kusambar
handuk dan segera menghambur ke dalam kamar mandi.

***
Alhamdulillah, hari ini memang lucky bisa makan dengan menu istimewa
khas Palestina, mahshi dengan sup lentil! Wuah! Setahuku, mahshi ini dihidangkan pada saat bulan
Ramadhan saja.
Tetapi  pemilik kedai tempat kami makan
tadi, menjamu kami dengan jamuan yang istimewa sekali.

Mahshi
bahan dasarnya adalah wortel besar berwarna coklat kemerahan.Wortel ini mereka
kupas dan kemudian dibuat rongga di tengahnya.

“Tidak mudah kami membuat rongga di tengah-tengah
wortel, kadang-kadang kami memanggil tukang kayu untuk membuat rongga.” jelas
pemilik kedai sambil tertawa. Kakek dan nenek berusia 60 tahunan. Mereka
bersemangat sekali menjelaskannya. Kufoto dengan berbagai gaya wortel yang siap
dimasak itu.

Rongga wortel tadi diisi dengan
campuran beras, tomat, minyak zaitun, kayu manis, dan kenari hancur
kadang-kadang ditambah daging. Kemudian diguyur dengan saus asam manis khas
negeri Palestina. Rasa manisnya dari wortel sedangkan asamnya dari pasta asam
yang khusus di impor dari Persia, yang disebut Hindi Tamar. Mengingat rasa
makanan tadi, terbit lagi air liurku. Slruupp…

Subhanallahu, mereka begitu bahagia
mengenal kami. Wartawan adalah segalanya bagi mereka. Mereka tidak bisa
mengabarkan pada dunia apa yang terjadi di sana. Mereka tergantung pada wartawan.
  
“InsyaAllah akan saya kabarkan
semua yang terjadi di sini ya, Kek,” begitu janjiku pada Kakek
Ahmad, pemilik kedai itu.
  
Kami, tim wartawan dari beberapa
media besar di tanah air, ditugaskan meliput Gaza dan
sekitarnya. Hanya ada 2 orang wanita saja dalam ekspedisi ini, aku dan mbak
Adis. Yang lainnya pak Arif, pak Syarif dan pak Sandi.
  
Kami melewati blokade yang sangat
ketat sekali, sampai tempat yang akan diliput pun akhirnya berubah. Khan Yunis
adalah kota kecil yang sedikit longgar, akhirnya kami terdampar di kota ini.
Tidak banyak yang bisa diliput disini. Tapi itu pandanganku saat pertama kali
datang ke sini dan aku salah!

Kami meneruskan perjalanan menuju masjid
yang tidak jauh dari tempat itu. Waktu menunjukan saatnya shalat Zuhur sudah tiba.
Di tengah perjalanan…, brukkk!! Aku tertabrak sepeda. Badanku
oleng ke kiri. Kulihat mbak Adis pun terkejut. Seorang anak berusia 10 tahun
terjungkal dan jatuh dari sepedanya.

“Tidak apa-apa, Dik?” kubantu
dia berdiri
dan kupandangi wajahnya yang putih pucat. Wajahnya tirus, matanya sayu.
Sepertinya aku mengenal anak ini.
  
Beberapa waktu yang lalu, ketika
kami baru sampai di Khan Yunis, kami sarapan di sebuah kedai tidak jauh dari
hotel. Dia mengirim roti pada pemilik kedai itu. Roti yang masih hangat dan enak
sekali. Aku pun langsung memesannya dan membawa beberapa buah untuk bekal
perjalanan keliling kami. Ya, tidak salah lagi, pasti dia gadis penjual roti
itu!
  
“Oh, eh, maaf Kakak.
Aku tidak sengaja.” Katanya dalam bahasa Inggris yang terbata-bata. Dia usap
kedua kakinya sambil meringis perih.
  
“Tidak apa-apa, kami yang salah,
jalan terlalu ke tengah dan sambil memotret lagi,” Mbak Adis
menenangkannya.
  
“Ayo, dimana tempat tinggalmu? Kami
antar sampai rumah ya?” Mbak Adis memang jempolan, dia cepat
tanggap jika ada musibah. Sekecil apapun.
  
“Ya, Kak,”
lirihnya
setengah bergumam.

Akhirnya rombongan kami berpisah,
bapak-bapak meneruskan ke masjid dan kami mengantarkan gadis kecil itu ke
rumahnya. Kami berjalan beriringan. Kutuntun sepeda dan Mbak Adis memapah gadis
kecil itu.

Lho kok, dia menuju ke kedai
yang tadi?

Olala, ternyata gadis itu anak
angkat pemilik kedai. Subhanallahu,
ada keajaiban kembali hadir dalam perjalanan kami. Dan itu baru permulaan,
selanjutnya masih banyak kejutan-kejutan indah dari Allah lewat gadis kecil bermata sayu,
Hayya.

***

“Anak itu kami temukan ketika kami
berkunjung ke rumah adik kami di Gaza. Dia duduk sambil menangis di depan rumah
adik saya yang kebetulan tidak kena serangan dari Israel karena letaknya
dipinggiran kota.” Kakek Ahmad, begitu aku menyebutnya, pemilik kedai itu
memulai ceritanya.
  
“Usianya 8 tahun ketika kami
ketemukan, bajunya lusuh dan kondisi badannya lemah,”
imbuhnya
lagi. “Mungkin dia melakukan perjalanan yang jauh dari rumahnya karena daerah
tempatnya tinggal luluh lantak di bombardir tentara jahanam itu.” katanya lagi
dengan muram.
  
“Dia sudah tidak punya siapa-siapa,
keluarganya meninggal semua dalam kejadian itu.“ Kakek Ahmad memandangiku
dengan wajah sedih, ada air di sudut-sudut matanya. Kulihat dia menggenggam
erat tangan istrinya. Aku paham sekali kesedihan mereka.
  
Wajah tuanya, meskipun sudah keriput,
tetapi terlihat jelas bahwa pada masa mudanya adalah seorang laki-laki yang
gagah dan rupawan. Wajahnya teduh menandakan dia ahli ibadah. Dia duduk bersama
istrinya bercerita tentang gadis kecil itu. Gadis malang itu, Hayya namanya,
yang artinya hidup.
  
Hayya membantu mereka menjual roti
yang diambil dari industri rumahan tetangga mereka. Upahnya lumayan dan menjadi tabungan
untuknya. Kakek dan Nenek Hayya tidak memerlukan uang itu. Hayya membantu
menjual roti sekaligus belajar membuat roti karena Hayya tidak bisa bersekolah
formal lagi.

Kakek dan nenek itu hanya tinggal
berdua saja di rumah yang kini disulap menjadi kedai. Mereka sudah tidak punya
siapa-siapa lagi. Ketiga anak laki-lakinya syahid berjuang  mempertahankan tanah airnya, Palestina.

Hayya, kini menjadi anak angkat
mereka. Mereka sangat bersyukur Hayya mau tinggal bersama mereka. Walaupun
hidup dalam kesusahan dan kesedihan, Hayya mampu melipur lara mereka.

***
 Kudekati gadis itu, Hayya tertunduk
malu. Dia habiskan makan siangnya dengan cepat begitu melihatku menghampirinya.

“Hayya, apa kabar?” sapaku
hati-hati. Entah mengapa aku ingin sekali dekat dengan anak itu.

“Baik, alhamdulillah,”
jawabnya singkat, kemudian bangkit membawa serta piring dan gelas menuju ke
tempat cuci piring dan asyik mencucinya. Kedai itu ada di dalam ruang tamu yang
sudah disulap menjadi tempat makan. Tempat cuci piring pun disediakan di sana.
Dapurnya pindah kedepan.

Kuedarkan pandangan ke seluruh
ruangan. Rumah sederhana dengan karpet tebal yang hangat. Kursi-kursi dan meja
diberi taplak rajutan.
“Pasti hasil karya
Nenek Maryam,batinku,
sok tahu.

Mataku tertumbuk pada jejeran foto
yang ada di buffet kecil dipojok ruangan. Ehm, baru kulihat pemandangan
ini.  Kuhampiri jejeran foto itu dan
kulihat 3 orang laki-laki muda tersenyum  riang di dalamnya.

“Itu foto 3 mujahid kami.” Tiba-tiba
Nenek Maryam sudah ada di sampingku. “Mereka semua gagah berani, sampai aku
tidak sampai hati menolak permintaan mereka untuk berjuang bersama batalion
Asy-Syahid Izzuddin Al-Qassam,” imbuhnya. Diambilnya foto itu dan
diusapnya. Dipandanginya foto itu dengan pandangan penuh mesra.

“Kami memang kehilangan mereka,
tetapi kami yakin mereka tidak mati, karena Allah telah mengatakannya dalam
kitab suci Al Qur’an.” Disusutnya airmata yang meleleh di kedua pipinya yang
keriput.

Kupeluk dia dengan penuh haru. Tak
terasa mataku pun memanas. Aku tahu perihnya kehilangan orang-orang yang
dicintai. Kami tenggelam dalam haru biru di pojok ruangan penuh kenangan. Lewat sudut
mataku, kulihat
Hayya pun sedang tersedu melihat kami menangis berpelukan.

***

“Kakak, maafkan aku ya.” Hayya
tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku sedang
menikmati sarapan pagi tanpa Mbak Adis, dia sedang memburu berita di tempat
lain. Sementara, aku betah sekali nongkrong di kedainya Kakek Ahmad, sarapan
paginya hari ini roti dengan oseng jamur. Sedappp!

“Hai Hayya, sudah sarapan belum?”
kuberi dia senyuman paling indah di pagi itu. Kuajak dia duduk di sampingku.

“Sudah, Kak,”
jawabnya dengan senyum ceria. Surprise…!!!
Aku kaget sekali melihat perubahannya. Kuteruskan sarapanku dengan senyum
mengembang, aku bahagia sekali. Selesai juga sarapanku, kubawa ke tempat cuci
dan segera aku cuci piring itu.

“Hayya tidak mengantar roti? “
tanyaku.

“Tidak Kak, Hayya hanya ingin
bermain dengan Kakak,” jawabnya sambil menunduk. “Kata
kakek Ahmad, Kakak besok kembali ke Indonesia ya?” dia pandangi aku dengan
pandangan penasaran, seperti meminta jawabanku segera.

“Ehm, di sini ada tempat yang aman
untuk bermain tidak? “ tanyaku mengalihkan pertanyaan.

“Ada. Yuk kita ke sana, Kak!” Hayya
serta merta menarikku keluar rumah. 
“Kakek, Nenek, aku main dulu yah. Assalamu’alaikum!
” serunya sambil meminta ijin pada kakek dan neneknya.
Digamitnya tanganku dengan riang.

Kami berjalan memutari belakang
rumah Kakek Ahmad. Kami susuri jalan setapak di antara jejeran rumah yang
padat. Di ujung jalan itu ternyata ada kebun jeruk yang rindang. Puluhan pohon
berjajar dengan buah jeruk menguning siap di panen. Indahnya, aku tidak pernah
jalan lewat jalan setapak itu. Kebun ini seperti surga. Hamparan hijau
pepohonan jeruk dengan warna kuning semu oranye yang indah.

“Ini kebunnya kakek
Ahmad, yang mengurus semua warga di sini. Hasil kebun kami panen bersama.
Setelah serangan dari Israel, kami harus berbagi untuk sesama. Tidak ada lagi
hak milik pribadi, semua untuk keperluan bersama. Begitu kata Kakek
Ahmad.” Hayya panjang lebar menjelaskannya sebelum aku bertanya.
  
“Ooh…,” aku mengangguk sambil
potret sana, potret sini. Kami duduk berjejer di bawah pohon jeruk. Hayya
mengambilkan beberapa biji jeruk untukku.
  
“Ehmm…manissss.” Aku lahap semua
buah jeruk seperti orang baru bertemu buah jeruk. Rasanya memang luar biasa. Beda
dengan jeruk yang biasa aku makan sebelumnya. Selesai makan jeruk, kami bermain
dan berlari-lari berdua bak kakak beradik. Hayya kelihatan senang sekali. Ia
tergelak-gelak ceria. Lelah berlarian, kami berjejeran tidur di hamparan rumput
yang hijau. Wangi rumput seketika menyeruak hidungku.

“Kakak, mau menjadi kakakku tidak?”
tiba-tiba Hayya melontarkan pertanyaan itu. Alisku berkerut.

“Tentu saja mau, Sayang!”
jawabku sambil memeluknya. Dia begitu ringkih dan polos.

“Kakak, setelah aku ditinggal kedua
orangtuaku dan adik-adikku, milikku hanya kakek dan nenek.
Jika mereka meninggal siapa yang akan menjadi temanku?” katanya lagi, polos.
Ada riak air di matanya dan luruh satu-satu di pipinya
yang tirus pucat.

Ya, Rabbi, pertanyaan yang menohok
sekali. Kupandangi wajah polosnya. Kuusap dengan lembut airmata yang membasahi
pipinya.

“Iya Sayang, pasti  Kakak akan menjagamu, insyaAllah. Kakak janji!”
Tenggorokanku mendadak kering, suaraku parau. Aku menangis. Aku sedih harus
berpisah dengannya.

“Berdoa pada Allah ya, agar Allah
mempertemukan kita lagi. Kakak akan terus mengirimimu surat, akan kakak
kabarkan pada dunia, bahwa ada adik kakak di bumi Palestina
yang bernama Hayya. Gadis kecil penjual roti yang hebat, Sholihah.
“ kataku lagi.

Gadis kecil itu menangis dalam
pelukanku. Rasanya enggan melepaskannya dalam kesedihan, sendiri. Betapa
beratnya menjadi Hayya, sepulang sekolah, dia mendapati rumahnya sudah porak
poranda, dengan ayah dan bunda
ditemukan telah tak bernyawa. Begitu juga dengan adik-adiknya. Sungguh
peristiwa yang tragis.

“Kakak, mengapa mereka (orang Israel)  membenci kami (bangsa Palestina)? Mengapa
mereka membunuh Ayah Bunda dan Adik-adikku? Mengapa mereka menghancurkan
rumah-rumah kami? Sekolah kami? Kebun kami? Mainan kami?” Hayya menangis dalam
pelukanku.

Entahlah, aku pun tidak tahu
jawaban pastinya. Kebencian dan keserakahan itu datang membabi buta, sehingga
sudah tidak ada lagi hati nurani di dalamnya.

Kupandangi mata Hayya. Anak
Palestina yang telah kehilangan segala-galanya. Ayah bundanya,
keluarganya, masa kecilnya, kebebasannya. Ada ketakutan
dan keperihan diselipan cita-cita yang tinggi untuk kemerdekaan negerinya. Ya
Allah, apakah aku sanggup menjadi dirinya?

Hayya sayang, semoga engkau dan
saudara-saudaramu segera menghirup udara bebas dari penjajahan kaum zionis
Israel laknatullah. Benderamu akan berkibar di langit kebebasan. Dan
mimpimu bersekolah hingga ke luar negeri akan segera terwujud. Semoga.

Angin gemerisik menyentuh
dedaunan pohon jeruk, suaranya syahdu menjadi saksi dua
orang yang saling berjanji menjadi kakak dan adik sampai ajal menanti.
***
Hari ini aku harus bersiap
meninggalkan hotel kembali ke tanah air. Separuh hatiku
telah tertanam disini, di negeri para nabi. Ya Allah, semoga aku bisa
menjejakkan kakiku kembali di sini dan mengajak Hayya mengenalkan
negeriku, Indonesia.#

*JB, Malaysia, 19 September 2011*
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alhamdulillah, akhirnya, kita selesai membahas materi berikut cerpen keren bu TUti. Kesimpulan yang saya dapat dari komen kawan2 semua adalah berikut:
1. Cerpen 'Hayya' adalah cerpen yang manis. Sesuai dengan tema bahasan hari ini, bu Tuti berhasil menghadirkan setting yang kuat hingga kita terbawa pada suasana di cerita.
2. Cerpen ini juga seperti kisah nyata karena bu Tuti melakukan survey sebelum menulis kisahnya. Nah, inilah gunanya survey. Cerpen kita akan memiliki kekuatan lain, yaitu pengetahuan baru untuk pembaca.
3. Unsur instriksik pembangun cerpen juga sudah terlihat.
a. Alur jelas.
b. Tema, bagus.
c. Karakter tokoh, ditampakkan dalam cerpen. Menurut pandangan saya, Hayya adalah simbol kekuatan terpendam. Kakek dan nenek Ahmad adalah simbol kebaikan dan kesabaran. dan aku, tokoh utama di sini, adalah seseorang yang hangat dan mudah berbagi. Benarkah demikian bu Tuti? :-)

Ok, selamat pada bu Tuti yang sudah berhasil membuat cerpen keren yaa... ditunggu kiriman tulisan fiksi dari seluruh sahabatku di IIDN LN. Yuk, kian semangat belajar!

Akhir kata, mohon maaf atas segala kekacauan waktu dan kekurangan di sana sini. Kita tutup kelas fiksi kali ini dengan bacaan hamdallah.

Alhamdulillahi robbil 'alamiin.
salam hangat dari Johor, :-)
Ary Nur Azizah

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuhu, :-)

No comments:

Post a Comment